#1 : Rasa Yang Tepat
“Ini harus dihentikan. Rud!” ujar Shely, ketika memasuki ruang kerja rudi yang ada di lantai dua, di salah satu ruko di pusat perbelanjaan di kawasan selatan Jakarta itu.
Rudi tak berkata apapun untuk menjawab pernyataan Shely. Dia hanya terdiam sambil menunduk memandangi beberapa berkas yang ada di tangannya.
“Rud, kamu dengar aku gak sih!,” ujar Sherly lagi dengan nada agak keras karena melihat Rudi seperti tak memperhatikannya.
“Aku dengar, Shel. Tapi aku gak paham apa yang kamu maksud harus dihentikan itu?” tanya Rudi mulai merespon ucapan Shely.
Wanita berambut panjang itu kemudian duduk di kursi yang ada di hadapan Rudi. Kali ini justru Sherly yang terdiam. Sherly yang mengenakan setelan jeans dengan kemeja lengan digulung berwana biru senada dengan celana jeansnya, menarik nafas dalam-dalam.
“Rud,” kata Sherly dengan suara agak berat sambil menarik kembali dalam-dalam nafasnya yang juga agak berat.
“Kenapa sayang?” ujar Rudi dengan nada bertanya sambil meletak berkas yang ada di tangannya dan berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah Shely.
“Hubungan kita, harus kita akhiri, Rud! Aku merasa ini udah gak beres. Dan udah gak bisa kita teruskan lagi,” tutur Sherly sambil menatap mata Rudi yang kita berada di hadapannya dan hanya berjarak beberapa centi meter itu.
Lelaki yang mengenakan celana hitam yang dipadu kemeja warna biru serta dasi warna senada itu hanya terdiam. Tak berapa lama kemudian, dia meraih telapak tangan Sherly dan meletakannya di pipi sebelah kanannya.
“Sebenarnya ada apa, sayang? Kenapa kamu mengatakan hal ini sekarang?” tanya Rudi dengan suara agak lembut.
Keduanya pun saling berpandangan. Mata Sherly terlihat berkaca-kaca. Suara tangisnya pun terdengar. Walau agak pelan.
Melihat air mata kekasihnya, Rudi pun menghapus air mata itu dengan sapu tangan yang ada di saku celana sebelah kirinya. Sapu tangan berwarna merah itu itu menghapus air mata Sherly yang keluar dari kedua kelopak matanya.
Tak tahan, Sherly pun memeluk Rudi erat-erat. Suasana ruangan berukuran 3 x 3 meter itu hening sekali. Rudi memebalas pelukan Sherly dengan mengusap punggungnya.
“Katakan sejujurnya, kenapa ini kamu ungkapkan, sayang?” tanya Rudi berbisik di telinga kanan Sherly.
Sherly hanya diam. Belum ada kata apapun yang keluar dari mulutnya. Seperti Sherly berusaha menikmati pelukan yang agak berat untuk segera dilepaskannya itu.
“Sejujurnya, aku belum siap kalau ini harus terjadi. Dan aku pun belum siap untuk terluka,” tutur Sherly sambil melepas pelukannya.
“Lalu, apa masalahnya?” tanya Rudi penuh keheranan.
“Jujur, aku tak bisa melupukan dia,” jawab Sherly dengan nada pelan sambil tertunduk.
“Soal, Tedy?” tanya Rudi sambil mengepalkan tangannya.
“Iya,” jawa Sherly singkat.
Keduanya pun terdiam kembali. Rudy kembali ke tempat duduknya semula. Begitu dengan Sherly. Dia pun duduk kembali ke tempat duduk yang ada di hadapan Rudi. Sherly tampak tertunduk. Sedangkan Rudi merai kembali berkas yang tadi diletakannya, walau pun pikirannya sudah tidak fokus lagi ke berkas yang diraihnya itu.
Suasana pun kembali hening. Tak ada kata-kata yang keluar dari keduanya.
Sherly, Tedy dan Rudi. Ketiganya tanpa disadari telah terlibat cinta segi tiga. Jauh sebelum mengenal Rudi, Sherly sudah berhubungan dengan Tedy. Lelaki yang dikenalnya ketika masih kuliah dulu. Sedangkan Rudy, baru dikenalnya setahun belakangan ini.
***
Perkenalan Sherly dengan Tedy sebenarnya hanya kebetulan saja. Saat itu Sherly mengenal Haris, teman sekantor Tedy, teman kuliahnya dulu. Saat itu, Sherly menelepon Hari di kantornya. Maklumlah waktu itu belum ada hand phone ataupun media sosial lainnya. Maka, telepon kantor atau telepon rumah menjadi satu-satunya sarana untuk saling berhubungan.
Tedy baru saja masuk ke ruang kerjanya. Beberapa temannya ada satu ruangan kerja dengannya tampak sibuk dengan komputer masing-masing. Sesampai di meja kerjanya, Tedy meminum air putih yang sudah tersedia di mejanya.
“Kriiiiing……Kriiiinggg……” suara dering telepon yang berada di meja Tedy berdering. Namun tedy masih belum tertarik mengangkatnya.
“Hallo….” kata Tedy, menjawab telepon yang diangkatnya.
“Selamat sore,” terdengar suara seorang wanita di ujung telepon.
“Sore juga. Dari mana dan mau bicara dengan siapa?” tanya Tedy kepada si penelepon.
“Benar ini kantornya Haris?” tanya si Wanita.
“Oh… Benar banget. Mau bicara dengan Haris?” tanya Tedy.
“Iya. Ada perlu penting banget,” jawab si penelepon.
Tedy pun melihat ke beberapap meja di ruang kerjanya. Kebetulan Haris satu ruangan dengannya.
“Maaf, Harisnya belum kelihatan. Mungkin masih di jalan,” jawab Tedy.
“Waduh.,” kata si wanita dengan nada binggung.
“Tapi boleh kenalan kan? Saya Tedy,” Tedy mulai mengoda si pemilik suara di telepon.
“Saya Sherly. Mas Tedy temannya Haris ya? Bagian apa di situ, Mas?” wanita yang ternyata bernama Sherly itu pun mulai bertanya.
“Iya. Kebetulan satu kantor. Saya hanya tukang sapu di sini. OB,” jawab Tedy sekenanya.
“Ooooo…. gitu. Salam kenal ya dari saya,” ujar Sherly.
“Salam kenal juga dari saya. Mungkin ada pesan buat Haris? Nanti akan saya sampaikan,” tutur Tedy.
“Tolong kasih tahu saja kalau saya cari dia. Itu saja. Terima kasih ya Mas Tedy,” tutur Sherly.
“Ok, nanti saya sampaikan,” ujar Tedy.
Telepon ditutup. Dan Tedy menyalakan komputer yang ada di hadapannya.
***
Masih lanjut ya……..